Deskripsi
Kiai Mahrus Aly adalah satu dari sekian ratus – atau malah sekian ribu – tokoh pesantren yang memiliki nama mentereng dalam jagat perjuangan di tanah air. Kebanyakan orang mungkin hanya tahu jika ia merupakan seorang pemimpin dari sebuah pesantren terbesar di Jawa Timur, Pesantren Lirboyo, di masa silam. Dan hingga saat ini, sedikit-sedikitnya terdapat hampir empat puluh ribu santri yang tinggal menimba ilmu di pesantren ini.
Pada dasarnya, hal itu bukanlah satu-satunya alasan dasar mengapa penulis merasa terdorong sekali untuk melahirkan biografinya. Kiranya, ada berpuluh-puluh – atau mungkin beratus-ratus alasan jika bisa dikemukakan – kesan yang dirasa pantas atau paling tidak rasional bagi semua penulis manapun ketika ingin menuliskan biografi Kiai Mahrus. Misal, karena sosoknya sebagai figuran pesantren yang dinilai amat berpengaruh dan juga memukau, terutama atas semua kontribusinya bagi lahirnya ratusan tokoh berpengaruh yang pada saat ini cukup memainkan peran penting dalam pembangunan civil sosiety di Indonesia. Sebut saja Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siraj, K.H. Anwar Iskandar, Dr. Syafi’i Sulaiman dan sejumlah tokoh penting lain yang tidak harus disebutkan karena juga akan terlalu panjang kiranya.
Sekilas, di dalam buku ini, akan diulas terkait bagaimana seorang muda usia yang memiliki cita-cita serta pengorbanan yang besar, kelak akan memperoleh apa yang seharusnya ia tuai. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan yang diilhami oleh keinginan besar untuk mengubah nasib intelektual senyatanya akan mampu menghantarkan seseorang ke dalam suatu perjalanan panjang dan penuh arti. Satu persatu pesantren pun mulai silih berganti disinggahi oleh Kiai Mahrus dalam rentang masa belajarnya yang bertepatan dengan masa di mana Indonesia masih belum benar-benar merdeka. Ia berguru kepada Kiai Mukhlas, Kiai Cholil Harun, Kiai Manab (Kiai Abdul Karim), Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Dalhar dan beberapa banyak lagi kiai lainnya yang berhasil membentuk pribadinya menjadi seorang yang amat memiliki disiplin terhadap ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang agama.
Di usianya yang sudah cukup matang, Kiai Mahrus mendapat tawaran dari Kiai Manab untuk mempersunting putrinya yang bernama Zainab. Dari sinilah, kisah cintanya untuk yang pertama dan terakhir kalinya terjalin, meskipun harus melalui berbagai proses panjang yang seolah ingin membuktikan bahwa sosok istrinya adalah memang benar-benar seorang wanita yang ditakdirkan untuk menjadi pendamping selama hidupnya. Terbukti, ada banyak perubahan fundamental dalam sejarah hidup Kiai Mahrus setelah dirinya menikahi putri Kiai Manab ini.
Ketika revolusi fisik pecah di Surabaya (1945), Kiai Mahrus turut berjuang di medan laga bersama dengan satu kompi pasukan bersenjata lengkapnya. Walaupun perjuangan itu belum benar-benar final karena setelahnya ia sempat harus mengalami isolasi di daerah perbukitan Klotok, Kediri, akibat represi dari kembalinya sekutu untuk menjajah kembali bumi pertiwi. Yang kedua kalinya pun ia turut bergerilya melawan tentara penjajah hingga deklarasi kemerdekaan Indonesia baru di umumkan di Den Haag, Belanda, menjelang akhir dasawarsa 1940-an. Namun, berakhirnya perang bukanlah pertanda bahwa pengabdiannya terhadap agama telah usai. Setelah Indonesia memasuki masa damai, Kiai Mahrus mengalihkan fokusnya untuk kembali mengabdi kepada pesantren, pendidikan, dan umat Islam di Indonesia.
Lewat Pesantren Lirboyo, Kiai Mahrus menyalurkan semua yang dipahaminya terkait Islam yang luas dan ramah, serta tak ketinggalan mengajarkan teori-teori Islam klasik atau yang lebih dikenal dengan istilah “kitab kuning.” Bahkan atas dasar kecintaan dan kepeduliannya terhadap masyarakat pesantren yang amat tinggi, Kiai Mahrus mengusahakan berdirinya sebuah perguruan tinggi di pesantrennya yang hingga kini dikenal sebagai Universitas Islam Tribakti. Kepada umat Islam, ia abdikan dirinya kepada NU yang sudah diikutinya secara formal sejak 1950-an. Di NU Jawa Timur, Kiai Mahrus adalah Rais Syuriah yang menjabat sepanjang sisa usianya. Ia juga adalah salah satu anggota dewan Mustasyar PBNU sejak 1984 dan juga termasuk salah seorang kiai yang berhasil menskenariokan NU ke posisi awalnya – yang kemudian dikenal sebagai Khittah 1926 – sekaligus korektor bagi NU dalam perumusan sikap terhadap Pancasila sebagai asas tunggal organisasi.
Di sisi lain, buku ini juga menghadirkan sebuah fragmen yang mengupas tuntas praktik keseharian Kiai Mahrus dari sudut pandang muslim santri. Kami sengaja memberikannya nama “Lanskap Ilmiah”, sebuah rubrik yang dibuat khusus untuk membicarakan pelbagai hal yang dilakukan, dikhotbahkan, atau yang orang lain ceritakan tentang Kiai Mahrus selama ini. Sejatinya “Lanskap Ilmiah” adalah sinkretisme antara apa yang dilakukan oleh Kiai Mahrus dengan kisah-kisah para saleh yang terdapat di banyak turats – sebagai objek kajian yang dipadukan. Tentu harapan kami sederhana, agar pembaca dapat lebih mendarah daging dalam menganalisa pemikiran-pemikiran yang membentuk pribadi seorang Kiai Mahrus, walaupun hal itu sendiri bukan berasal langsung dari justifikasi mendiang semasa hidupnya.
Ulasan
Belum ada ulasan.